BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong,
salah satu contohnya adalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan
sampai merugikan dan menyengsarakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah
sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti
atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan
transaksi/akad.[1]
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa
praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga
berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis
pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum
menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat.
Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai
kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap
masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah
riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.
Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai
riba
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan
berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah
Al-Baqarah ayat 275 padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana
konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan
bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat
(termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. hal yang
mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah
ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku
bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan
prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya.
dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad
ditetapkan di awal persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka
yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha
yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung
oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu
pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian
dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak.[2]
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari
penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Apa Pengertian Riba?
2.
Dasar Hukum Riba?
3.
Macam-Macam Riba?
4.
Hikmah Dilarangnya Riba?
5.
Apa Pengertian Bank?
6.
Dasar Hukum Bank?
7.
Jenis-Jenis Bank?
8.
Perbedaan Bank Non Islam (Konvensional)
dengan Bank Islam?
9.
Bagaimana
Hukum Suatu Bunga Bank?
10. Bagaimana Perbedaan Sistem Bunga dengan Syari’ah?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk Mengetahui Apa
Pengertian Riba
2.
Untuk Mengetahui Dasar Hukum
Riba
3.
Untuk Mengetahui Macam-Macam
Riba
4.
Untuk Mengetahui Hikmah Dilarangnya
Riba
5.
Untuk Mengetahui Apa Pengertian
Bank
6.
Untuk Mengetahui Dasar
Hukum Bank
7.
Untuk Mengetahui Jenis-Jenis
Bank
8.
Untuk Mengetahui Perbedaan
Bank Non Islam (Konvensional) Dengan Bank Islam
9.
Untuk Mengetahui Bagaimana Hukum Suatu Bunga Bank
10. Untuk Mengetahui Bagaimana
Perbedaan Sistem Bunga Dengan Syari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Riba
Asal makna “riba”
menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini
menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu,
tidak di ketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat
menerimanya.
Menurut Al Jurjanji,
riba adalah kelebihan atau tambahan
pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang
dari dua orang yang membuat akad.
Syekh Muhammad Abduh
mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang
yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya atau uangnya karena
janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
2.2 Dasar Hukum Riba
Dasar hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an,
sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga
dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual
beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas
kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin
berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai berikut:
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Riba dalam Islam
hukumnya haram. Beberapa ayat dan hadist yang melarang Riba, adalah sebagai
berikut berikut:
Firman Allah SWT Dalam
surat Ali-Imran: 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ
الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
· Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”. (QS :
Ali-imran : 130).
Firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah: 275-276
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ
يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ
فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)
(٢٧٦) يَمْحَقُ
اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ
أَثِيمٍ
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan
menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
(QS : Al-Baqarah : 275-276).
Firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah: 278-279
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِن كُنتُم مُّؤْمِنِين (٢٧٨)َ
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ
فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ (٦٧٩)
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
(QS. Al-Baqarah : 278-279)
.
b. Sunnah Rasulullah SAW
عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir, “Rasulullah SAW, telah melaknat
(mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua saksinya.” (HR.
muslim).
إِحْتَنِبُوْا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ: الشِّرْكَ
بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ
بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ)متفق عليه)
Artinya:
“Jauhilah
tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut
ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba,
memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina
wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
c. Ijma’ Para Ulama
Para
ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba
adalah salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci
Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan
mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka
yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar
antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela
membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
Dari beberapa ayat dan hadist yang telah disebutkan tadi jelaslah bagi kita
bahwa riba itu betul-betul dilarang dalam agama islam. Disini di jelaskan bahwa
riba nasi’ah jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya.
Mereka mentakhirkan
utang dari waktu yang semestinya dengan menambah bayaran, apabila terlambat
lagi, sampai utang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu. Kalau
dengan gadai, barang yang tergadai tetap tergadai.
Biasanya tidak ada
yang mau melakukannya kecuali orang yang sangat membutuhkannya, walaupun dia
tahu dan yakin akan akibat yang akan menimpanya, tetapi karena terdesak oleh
kebutuhan, terpaksa dipikulnya juga meskipun akan meruntuhkan bahunya. Apabila
yang berhutang memandang bahwa yang mempiutangnya tidak akan mendakwa, menagih
pun tidak bila diberi bunganya, tentu akan diberinya walaupun tambahan yang
diberikannya itu didapatnya dari pinjaman pula kepada yang lain, atau dengan
menjual hartanya yang ada. Keadaannya terus menerus demikian hingga habislah
hartanya. Sesudah hartanya habis, dia pun akan tetap terus menerus mendapat tagihan,
kadang-kadang sampai berakhir dengan masuk penjara atau barangnya yang tergadai
menjadi korban.
Si kaya, meskipun
tampaknya dapat untung, tetapi dia telah memudaratkan saudaranya, menganiaya
sesama manusia, seerta akan mengalutkan keadaan masyarakat. Inilah yang di
maksud oleh Allah SWT yang melarang mengambil harta dengan jalan batil.
Meskipun sekarang si kaya kelihatan beruntung, tetapi kalau kita ingat Firman
Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 276, 278, dan 279 di atas, kita percaya
bahwa hartanya itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.
Dengan kerusakan
masyarakat dan kemelaratan yang terjadi karena ujudnya riba, maka Allah yang
maha adil dan mengetahui menitahkan larangan nya yang amat keras supaya riba
dihapuskan, dilenyapkan dari muka bumi ini, sampai-sampai Allah berfirman bahwa
orang yang tidak berhenti dari riba itu seolah-olah menantang peperangan dengan
Allah dan Rasulnya. Riba nasi’ah di haramkan karena menimbulkan kemelaratan
yang sangat besar, sedangkan riba yang lain menutup pintu kemudaratan.
2.3 Macam-Macam
Riba
Para
ulama fiqih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
a. Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah
barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan oleh
orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang
yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai
contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan
ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang
disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak
termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
·
Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
·
Timbangan atau takarannya harus sama.
·
Serah terima pada saat itu juga.
b. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis
maupun yang tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih
oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba
nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan,
memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau
yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimbang yang
sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang
satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras
dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan
pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ
سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari
Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang
yang pembayarannya diakhirkan”. (H.R Lima ahli hadist).
c. Riba Qardi
c. Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada
keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang
kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk
mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut riba qardi.
d. Riba yad
d. Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum
serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima
barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah
sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama
Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan
penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai
berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap
sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan
menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ)رواه البحارى و مسلم )
Artinya: “Tidak ada riba kecuali pada riba nasi”. (H.R. Bukhari Muslim).
Ada
syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1.
Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
·
Serupa timbangan dan
banyaknya.
·
Tunai.
·
Timbang terima dalam akad
(ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual sesuatu yang
berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
·
Tunai.
·
Timbang terima dalam akad
(ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan
karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
o Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis
semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang yang
mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
o Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak
mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai
kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
o Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar
manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya
membutuhkan harta.
2.4
Hikmah
Dilarangnya Riba
Hikmah diharamkannya riba
yaitu:
1.
Menghindari tipu daya
diantara sesama manusia.
2.
Melindungi harta sesama
muslim agar tidak dimakan dengan batil
3.
Memotifasi orang muslim
untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh
dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum
muslimin.
4.
Menutup seluruh pintu bagi
orang muslim.
5.
Menjauhkan orang muslim
dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang
zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
6.
Membuka pintu-pintu
kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
7.
Rajin mensyukuri nikmat
Allah swt dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan
nikmat tersebut.
8.
Melakukan praktik jual
beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
2.5 Pengertian Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang
memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun
orang lain. Fungsi bank adalah sebagai berikut:
1.
Menyimpan dana masyarakat.
2.
Menyalurkan dana
masyarakat ke publik.
3.
Memperdagangkan utang
piutang.
4.
Mengatur dan menjaga
stabilitas peredaran uang.
5.
Tempat menyimpan hata
kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
6.
Menolong manusia dalam
mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Tujuan
bank diantaranya yaitu :
1.
Menolong manusia dalam
banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kredit).
2.
Meringankan hubungan
antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang
(money-transfer).
3.
Bagi hartawan adalah untuk
menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat dan pencuri dengan
menyimpan di tempat yang aman.
2.6
Dasar Hukum Bank
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam,
maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank. Berikut ini
beberapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak
mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a. Kelompok yang Mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra
(guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama
Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa
hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan
dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau
terpaksa.
b. Kelompok yang Tidak Mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh
Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah
kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank
di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran
ayat 130.
c. Kelompok yang Menganggap Syubhat (Samar-Samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya
dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya
(dalilnya). Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud
dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat
berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah), bank masih
tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah
(nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian
pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
2.7
Jenis-Jenis
Bank
Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat
dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
§ Bank Konvensional (dengan sistem bunga),
bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua
jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat.
§ Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil),
karena belum ada kata sepakat dari para ulama
tetang hukum bank konvensional sementara umat Islam harus mengikuti
perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar, maka lahirlah bank syariah
dengan prinsip bagi hasil.
§ Operasional Bank Syariah, prinsip operasional dan produk
syariah dapat dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi
penyaluran dana kepada masyarakat.
2.8
Perbedaan Bank Non Islam (Konvensional) dengan Bank Islam
Bank konvensional :
§ Memakai perangkat bunga atau bagi hasil .
§ Profit Oriented.
§ Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-kreditur.
§ Creator for money supply.
§ Melakukan investasi yang halal dan haram.
§ Tidak terdapat dewan sejenis Dewan Pengawas Syari’ah.
Bank islam :
§ Berdasarkan margin keuntungan bagi hasil.
§ Profit dan falah oriented.
§ Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan .
§ Users of real founds.
§ Melakukan investasi yang halal saja.
§ Pengerahan dan penyaluran dana harus sesuai dengan pendapat
Dewan Pengawas Syari’ah.
·
Hukum
Bermuamalah Dengan Bank Konvensional Dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Dalam
kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari
dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam
segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di
Indonesia. Perbedaan pendapat tentang hukum
bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank :
1.
Abu Zahrah : bunga bank itu riba
nasi’ah, dilarang oleh islam. Karena itu islam tidak boleh bermuamalah dengan
bank yang memakai sistem bunga kecuali terpaksa.
2.
A.Hasan : Bunga bank bukan riba yang
diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana dalam surat Ali Imron: 130.
3.
Majelis Tarjih Muhammaddiyah di sidoarjo
Jawa Timur 1968: Bunga bank termasuk subhat artinya belum jelas halal dan
haramnya. Tapi jika dalam keadaan terpaksa kita di bolehkan bermuamalah dengan
bank konvensional.
2.9 Bagaimana
Hukum Suatu
Bunga Bank
Ada beberapa pendapat ulama dalam menetapkan hukum bunga
bank, yaitu:
a.
Haram
dan termasuk riba, karena kelebihan pembayaran tersebut hendaklah ditentukan ketika akad berlangsung, pendapat ini di kemukakan oleh mushthafa zarga dan abu
zahra yaitu ulama besar pada abad ke-20.
b.
Tidak
termasuk riba, sebab cukup rasional untuk biaya pengelolaan serta jasa yang
diberikan kepada pemilik uang. Pendapat ini dapat dikemukakan oleh Mahmud
Syaltut dari Al - Azhar.
c.
Subhat,
yaitu belum jelas antara halal dan haram. Mereka cenderung berhati-hati.
Pendapat ini dikemukakan oleh majlis tarjih muhamadiyah di indonesia.
2.10
Bagaimana Perbedaan
Sistem
Bunga
Dengan
Syari’ah
Sistem
bunga yang diterapkan oleh bank konvensional dan prinsip syariah dalam perbankan syariah
dalam kegiatan pemberian pinjaman atau pembiayaan kepada masing-masing
nasabahnya memiliki beberapa perbedaan yang cukup prinsip, antara lain:
Pokok perbedaan
|
Sistem bunga/konvensional
|
Prinsip syariah islam
|
Dasar perjanjian penentuan bunga/imbalan
|
Tidak berdasarkan keuntungan /kerugian
|
Berdasarkan keuntungan/kerugian
|
Dasar perhitungan bunga/imbalan
|
Persentase tertentu dari pinjaman
|
Nisbah bagi hasil berdasarkan keuntungan yang diperoleh
|
Kewajiban membayar bunga/imbalan
|
a.
Tetap
harus dibayar meskipun usaha nasabah merugi.
b.
Besarnya
pembayaran bunga tetap
|
a.
Imbalan
dibayar bila usaha nasabah untung. Bila merugi, kerugian di tanggung kedua
pihak
b. Besarnya
imbalan disesuaikan keuntungan.
|
Persyaratan jaminan obyek usaha yang dibiayai
|
a.
Mutlak
diperlukan
b.
Tidak
ada pembatasan jenis usaha sepanjang bankable
|
Tidak mutlak jenis usaha harus sesuai syariah
|
Kedudukan sistem bunga berdasarkan prinsip syariah
|
Pengenaan bunga sifatnya haram
|
Pembayaran imbalan berdasarkan bagi hasil adalah halal.
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah ini
adalah,
1.
Riba dengan segala macam bentuknya merupakan suatu pemaksaan pemindahan hak
milik dari orang yang menjadi objek riba oleh orang yang menjadi subjek dari
perbuatan riba itu secara tidak langsung. Dan perbuatan semacam ini mendapatkan
kecaman yang sangat serius dari Allah dan Rasul-Nya. Orang yang melakukan
transaksi semacam ini balasannya adalah neraka berdasarkan firman Allah “Dan Allah telah menghalalkan jualbeli dan
mengharamkan riba”. Karena pada dasarnya riba adalah pencurian yang
mempunyai akad.
2.
Dasar hukum Hukum melakukan riba adalah
haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama.
3.
Macam-Macam Riba: Riba
Fadl, Riba Nasi’ah, Riba Qardi, Riba Yad.
4.
Islam
mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya adalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian
pinjaman itu jangan sampai merugikan dan menyengsarakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah
sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti
atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan
transaksi/akad.
DAFTAR PUSTAKA
Sarjono, Ahmad.2008. Buku
ajar Fiqh. Jakarta :CV.Sindunata
Siamat Dahlan. 2005. manajemen
lembaga keuangan (kebijakan moneter dan perbankan) edisi lima. Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Rasjid H. Sulaiman. 1994.
Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syafe’i Dr. Rachmat, MA. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung
Zuhdi,
Prof. Drs H. Masjfuk. MASAIL FIQHIYAH, PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997,
Hal.102.
Rokhman,
M.Ag Roli Abdul. Fiqih 2 MA. Jawa Timur: PT Wahana Dinamika. 1999
Sjahdeini,
Sutan Remy. Perbankan Islam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.1999
Mujtaba,
Saifuddin. AL – MASAILUL FIQHIYAH. Rausyan fikr. Jombang:2007,Hal.345
No comments:
Post a Comment