Friday, August 3, 2018

Riba dan Bank


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya adalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai merugikan dan menyengsarakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi/akad.[1]
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak.[2]

1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penyusunan makalah ini adalah sebagai   berikut :
1.      Apa Pengertian Riba?
2.      Dasar Hukum Riba?
3.      Macam-Macam Riba?
4.      Hikmah Dilarangnya Riba?
5.      Apa Pengertian Bank?
6.      Dasar Hukum Bank?
7.      Jenis-Jenis Bank?
8.      Perbedaan Bank Non Islam (Konvensional) dengan Bank Islam?
9.      Bagaimana Hukum Suatu Bunga Bank? 
10.  Bagaimana Perbedaan Sistem Bunga dengan Syari’ah?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai   berikut :
1.      Untuk Mengetahui Apa Pengertian Riba
2.      Untuk Mengetahui Dasar Hukum Riba
3.      Untuk Mengetahui Macam-Macam Riba
4.      Untuk Mengetahui Hikmah Dilarangnya Riba
5.      Untuk Mengetahui Apa Pengertian Bank
6.      Untuk Mengetahui Dasar Hukum Bank
7.      Untuk Mengetahui Jenis-Jenis Bank
8.      Untuk Mengetahui Perbedaan Bank Non Islam (Konvensional) Dengan Bank Islam
9.      Untuk Mengetahui Bagaimana Hukum Suatu Bunga Bank
10.  Untuk Mengetahui Bagaimana Perbedaan Sistem Bunga Dengan Syari’ah

                
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Riba
Asal makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak di ketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.
Menurut Al Jurjanji, riba adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad.
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

2.2   Dasar Hukum Riba
Dasar hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an
Riba dalam Islam hukumnya haram. Beberapa ayat dan hadist yang melarang Riba, adalah sebagai berikut berikut:
Firman Allah SWT  Dalam surat Ali-Imran: 130

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

·        Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS : Ali-imran : 130).
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 275-276
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥) 
(٢٧٦) يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS : Al-Baqarah : 275-276).
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 278-279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِين (٢٧٨)َ
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ (٦٧٩)
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah : 278-279) 
.
b.  Sunnah Rasulullah SAW

عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir, “Rasulullah SAW, telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua saksinya.” (HR. muslim).
إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ: الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ)متفق عليه)
Artinya: “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)

c. Ijma’ Para Ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
Dari beberapa ayat dan hadist yang telah disebutkan tadi jelaslah bagi kita bahwa riba itu betul-betul dilarang dalam agama islam. Disini di jelaskan bahwa riba nasi’ah jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya.
Mereka mentakhirkan utang dari waktu yang semestinya dengan menambah bayaran, apabila terlambat lagi, sampai utang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu. Kalau dengan gadai, barang yang tergadai tetap tergadai.
Biasanya tidak ada yang mau melakukannya kecuali orang yang sangat membutuhkannya, walaupun dia tahu dan yakin akan akibat yang akan menimpanya, tetapi karena terdesak oleh kebutuhan, terpaksa dipikulnya juga meskipun akan meruntuhkan bahunya. Apabila yang berhutang memandang bahwa yang mempiutangnya tidak akan mendakwa, menagih pun tidak bila diberi bunganya, tentu akan diberinya walaupun tambahan yang diberikannya itu didapatnya dari pinjaman pula kepada yang lain, atau dengan menjual hartanya yang ada. Keadaannya terus menerus demikian hingga habislah hartanya. Sesudah hartanya habis, dia pun akan tetap terus menerus mendapat tagihan, kadang-kadang sampai berakhir dengan masuk penjara atau barangnya yang tergadai menjadi korban.
Si kaya, meskipun tampaknya dapat untung, tetapi dia telah memudaratkan saudaranya, menganiaya sesama manusia, seerta akan mengalutkan keadaan masyarakat. Inilah yang di maksud oleh Allah SWT yang melarang mengambil harta dengan jalan batil. Meskipun sekarang si kaya kelihatan beruntung, tetapi kalau kita ingat Firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 276, 278, dan 279 di atas, kita percaya bahwa hartanya itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.
Dengan kerusakan masyarakat dan kemelaratan yang terjadi karena ujudnya riba, maka Allah yang maha adil dan mengetahui menitahkan larangan nya yang amat keras supaya riba dihapuskan, dilenyapkan dari muka bumi ini, sampai-sampai Allah berfirman bahwa orang yang tidak berhenti dari riba itu seolah-olah menantang peperangan dengan Allah dan Rasulnya. Riba nasi’ah di haramkan karena menimbulkan kemelaratan yang sangat besar, sedangkan riba yang lain menutup pintu kemudaratan.

2.3 Macam-Macam Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
a. Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
·         Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
·         Timbangan atau takarannya harus sama.
·         Serah terima pada saat itu juga.

b. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan”. (H.R Lima ahli hadist).

c. Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut riba qardi.

d. Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:

إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ)رواه البحارى و مسلم )
Artinya: “Tidak ada riba kecuali pada riba nasi”. (H.R. Bukhari Muslim).

Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
·        Serupa timbangan dan banyaknya.
·        Tunai.
·        Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
·        Tunai.
·        Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
o   Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
o   Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
o   Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.

2.4  Hikmah Dilarangnya Riba
Hikmah diharamkannya riba yaitu:
1.      Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
2.      Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil
3.      Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum muslimin.
4.      Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
5.      Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
6.      Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
7.      Rajin mensyukuri nikmat Allah swt dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
8.      Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.

2.5  Pengertian Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Fungsi bank adalah sebagai berikut:
1.      Menyimpan dana masyarakat.
2.      Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
3.      Memperdagangkan utang piutang.
4.      Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran uang.
5.      Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
6.      Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Tujuan bank diantaranya yaitu :
1.      Menolong manusia dalam banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kredit).
2.      Meringankan hubungan antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang (money-transfer).
3.      Bagi hartawan adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat dan pencuri dengan menyimpan di tempat yang aman.

2.6  Dasar Hukum Bank
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank. Berikut ini beberapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a. Kelompok yang Mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.

b. Kelompok yang Tidak Mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.
c. Kelompok yang Menganggap Syubhat (Samar-Samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya (dalilnya). Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.

2.7  Jenis-Jenis Bank
Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
§  Bank Konvensional (dengan sistem bunga), bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. 
§  Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil), karena belum ada kata sepakat dari para ulama tetang hukum bank konvensional sementara umat Islam harus mengikuti perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar, maka lahirlah bank syariah dengan prinsip bagi hasil.
§  Operasional Bank Syariah, prinsip operasional dan produk syariah dapat dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi penyaluran dana kepada masyarakat.

2.8  Perbedaan Bank Non Islam (Konvensional) dengan Bank Islam
Bank konvensional :
§  Memakai perangkat bunga atau bagi hasil .
§  Profit Oriented.
§  Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-kreditur.
§  Creator for money supply.
§  Melakukan investasi yang halal dan haram.
§  Tidak terdapat dewan sejenis Dewan Pengawas Syari’ah.
Bank islam :
§  Berdasarkan margin keuntungan bagi hasil.
§  Profit dan falah oriented.
§  Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan .
§  Users of real founds.
§  Melakukan investasi yang halal saja.
§  Pengerahan dan penyaluran dana harus sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syari’ah.

·        Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional Dan Hukum Mendirikan Bank Islam
            Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia. Perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank :
1.      Abu Zahrah : bunga bank itu riba nasi’ah, dilarang oleh islam. Karena itu islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga kecuali terpaksa.
2.      A.Hasan : Bunga bank bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana dalam surat Ali Imron: 130.
3.      Majelis Tarjih Muhammaddiyah di sidoarjo Jawa Timur 1968: Bunga bank termasuk subhat artinya belum jelas halal dan haramnya. Tapi jika dalam keadaan terpaksa kita di bolehkan bermuamalah dengan bank konvensional.


2.9  Bagaimana Hukum Suatu Bunga Bank
Ada beberapa pendapat ulama dalam menetapkan hukum bunga bank, yaitu:
a.       Haram dan termasuk riba, karena kelebihan pembayaran tersebut hendaklah ditentukan ketika akad berlangsung, pendapat ini di kemukakan oleh mushthafa zarga dan abu zahra yaitu ulama besar pada abad ke-20.
b.      Tidak termasuk riba, sebab cukup rasional untuk biaya pengelolaan serta jasa yang diberikan kepada pemilik uang. Pendapat ini dapat dikemukakan  oleh Mahmud Syaltut dari Al - Azhar.
c.       Subhat, yaitu belum jelas antara halal dan haram. Mereka cenderung berhati-hati. Pendapat ini dikemukakan oleh majlis tarjih muhamadiyah di indonesia.

2.10          Bagaimana Perbedaan Sistem Bunga Dengan Syari’ah
Sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional dan prinsip syariah dalam perbankan syariah dalam kegiatan  pemberian pinjaman atau pembiayaan kepada masing-masing nasabahnya memiliki beberapa perbedaan yang cukup prinsip, antara lain:
Pokok perbedaan
Sistem bunga/konvensional
Prinsip syariah islam
Dasar perjanjian penentuan bunga/imbalan
Tidak berdasarkan keuntungan /kerugian
Berdasarkan keuntungan/kerugian
Dasar perhitungan bunga/imbalan
Persentase tertentu dari pinjaman
Nisbah bagi hasil berdasarkan keuntungan yang diperoleh
Kewajiban membayar bunga/imbalan
a.       Tetap harus dibayar meskipun usaha nasabah merugi.
b.      Besarnya pembayaran bunga tetap
a.       Imbalan dibayar bila usaha nasabah untung. Bila merugi, kerugian di tanggung kedua pihak
b.   Besarnya imbalan disesuaikan keuntungan.
Persyaratan jaminan obyek usaha yang dibiayai
a.       Mutlak diperlukan
b.      Tidak ada pembatasan jenis usaha sepanjang bankable
Tidak mutlak jenis usaha harus sesuai syariah
Kedudukan sistem bunga berdasarkan prinsip syariah
Pengenaan bunga sifatnya haram
Pembayaran imbalan berdasarkan bagi hasil adalah halal.


























BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah ini adalah,
1.      Riba dengan segala macam bentuknya merupakan suatu pemaksaan pemindahan hak milik dari orang yang menjadi objek riba oleh orang yang menjadi subjek dari perbuatan riba itu secara tidak langsung. Dan perbuatan semacam ini mendapatkan kecaman yang sangat serius dari Allah dan Rasul-Nya. Orang yang melakukan transaksi semacam ini balasannya adalah neraka berdasarkan firman Allah “Dan Allah telah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan riba”. Karena pada dasarnya riba adalah pencurian yang mempunyai akad.
2.      Dasar hukum Hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama.
3.      Macam-Macam Riba: Riba Fadl, Riba Nasi’ah, Riba Qardi, Riba Yad.
4.      Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya adalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai merugikan dan menyengsarakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi/akad.

DAFTAR PUSTAKA

Sarjono, Ahmad.2008. Buku ajar Fiqh. Jakarta :CV.Sindunata
Siamat Dahlan. 2005. manajemen lembaga keuangan (kebijakan moneter dan perbankan) edisi lima. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Rasjid H. Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syafe’i Dr. Rachmat, MA. 1997.  Fiqh Muamalah. Bandung
Zuhdi, Prof. Drs H. Masjfuk. MASAIL FIQHIYAH, PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997, Hal.102.
Rokhman, M.Ag Roli Abdul. Fiqih 2 MA. Jawa Timur: PT Wahana Dinamika. 1999
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.1999 
Mujtaba, Saifuddin. AL – MASAILUL FIQHIYAH. Rausyan fikr. Jombang:2007,Hal.345
 

No comments:

Post a Comment

Macam-Macam Surat Berharga

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang   Dalam dunia perdagangan  kemungkinan pembayaran dengan uang tunai akan memiliki banyak ...